

MEDIAANDALAS.NET, KOTA CIREBON – Rotasi Jabatan dalam tata kelola organisasi kepemerintahan di Pemerintah Kota Cirebon merupakan salah satu mekanisme pengelolaan sumber daya manusia di lingkungan birokrasi yang telah lama diterapkan oleh pemerintah.
Sebelumnya M. Dany Jaelani, S.Sos menyoroti perihal Rotasi Mutasi Pemkot Cirebon bahwa dengan Merit Sistem Wujudkan Visi Misi Pimpinan Baru Cegah Aksi Para ‘Broker’ Jabatan pasca Pilkada Kota Cirebon 2024 dalam pembentukan kabinet baru dimungkinkan membawa dampak signifikan, terutama dalam hal penataan organisasi dan sumber daya manusia (SDM).
Perubahan ini tidak hanya sebatas pada restrukturisasi organisasi, tetapi juga menyentuh aspek-aspek penting dalam manajemen ASN, yang harus disesuaikan dengan visi dan misi strategis pimpinan Kota Cirebon yang baru.
“Untuk menjalankan roda pemerintahan jangan sampai pelayanan publik atau aktualisasi program itu terhambat, Effendi Edo selaku Walikota Cirebon dan Siti Farida Rosmawati selaku Wakil yang masih fresh bisa memiliki karakter kepemimpinan yang kuat dan mengedepankan good and clean goverment.” Jelas nya. Kamis (26/06/2025).
M. Dany Jaelani, S.Sos selaku Tokoh Masyarata Lintas Generasi menyampaikan pertanyaan mendasar yang selalu muncul dalam benak serta pikirannya apakah rotasi dan mutasi pejabat ASN Kota Cirebon benar-benar dimaksudkan untuk penyegaran dan peningkatan efektivitas pelayanan, atau justru telah dimanfaatkan sebagai alat politik untuk merubah susunan pegawai sesuai dengan kepentingan tertentu?
Melihat ke depan, rotasi dan mutasi jabatan ASN akan terus menjadi topik perdebatan dalam upaya memperbaiki birokrasi dan tata kelola pemerintahan.
Baca Juga : Dany Jaelani: Kupas Tuntas Peran Walikota dan Wakil dalam Penyusunan TAPD Kota Cirebon
Prospek penerapan rotasi yang murni berlandaskan penyegaran dan pengembangan kompetensi sangat besar, terutama jika didukung oleh teknologi informasi, kebijakan transparan, dan pengawasan yang ketat.
Namun, tantangan seperti resistensi budaya, potensi intervensi politis, dan keterbatasan sistem evaluasi kinerja masih menjadi hambatan yang harus diatasi bersama-sama.
Tujuan dari rotasi dan mutasi jabatan adalah untuk memberikan penyegaran pada pegawai, meningkatkan kompetensi, menghindari praktek stagnasi, serta mendorong inovasi dalam pelayanan publik.
Namun, dalam praktiknya, mekanisme rotasi dan mutasi jabatan di kalangan ASN kerap menuai pro dan kontra.
Di satu sisi, rotasi diharapkan sebagai sarana pembaruan dan pemberdayaan sumber daya manusia; di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan sejauh mana mekanisme ini telah terpolitisasi sehingga tidak lagi berfokus pada peningkatan kinerja dan kapasitas profesional pegawai.
Dalam pandangannya Kang Dany Jaelani akan mengupas kedua sisi dari mekanisme rotasi da mutasi Pejabat ASN di Pemerintah Kota Cirebon, mengidentifikasi manfaat ideal maupun risiko penyalahgunaan, serta menyajikan strategi yang dapat meminimalisir kecenderungan politisasi dalam rotasi pegawai.

Dany Jaelani menuturkan, dalam sistem birokrasi modern, rotasi dan mutasi Pejabat ASN dianggap sebagai salah satu instrumen penting untuk menjaga dinamika organisasi. Secara garis besar, rotasi dan mutasi Pejabat ASN memiliki beberapa tujuan utama, antara lain:
Pertama, Penyegaran Pegawai
Rotasi memberikan kesempatan kepada pegawai untuk berpindah tugas ke unit atau wilayah kerja yang berbeda. Dengan demikian, pegawai dapat memperoleh pengalaman baru, memperkaya wawasan, dan menghindari rasa jenuh akibat berlama-lama dalam satu posisi.
Kedua, Pengembangan Kompetensi
Rotasi dan mutasi juga berfungsi sebagai sarana pengembangan kompetensi. Dengan ditempatkan di lingkungan baru, pegawai menghadapi tantangan dan permasalahan baru yang kemudian memaksa mereka untuk belajar dan mengembangkan keterampilan yang lebih luas. Hal ini diharapkan akan meningkatkan kualitas pelayanan dan memperkuat kemampuan manajerial mereka.
Ketiga, Inovasi dan Perbaikan Layanan
Perpindahan pegawai dari satu unit ke unit lain dapat menghasilkan pertukaran ide dan praktik terbaik. Pegawai yang membawa pengalaman dan metode kerja yang inovatif dapat memberikan kontribusi positif dalam merombak sistem yang ada, sehingga meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.
Keempat, Mencegah Terjadinya Korupsi dan Kelekatan Personal
Rotasi dan mutasi jabatan yang dilakukan secara berkala diharapkan dapat mengurangi potensi korupsi. Dengan berpindah tempat, pegawai tidak memiliki kesempatan untuk membangun jaringan korup atau hubungan yang terlalu dekat dengan para pemangku kepentingan di satu wilayah atau satu instansi tertentu.
Lanjut Kang Dany Jaelani, rotasi dan mutasi ASN sebagai sarana penyegaran idealnya memiliki sejumlah manfaat penting bagi organisasi dan pegawai. Berikut beberapa aspek positif dari penerapan rotasi dan mutasi jabatan yang tepat menurut pandangan nya;
Pembelajaran Lintas Unit dan Wilayah
Pegawai yang mengalami rotasi dan mutasi jabatan biasanya akan mendapatkan pengetahuan mengenai perbedaan kondisi operasional dan tantangan di berbagai wilayah atau unit. Hal ini secara tidak langsung memperkaya perspektif mereka mengenai masalah dan memungkinkan mereka berpikir lebih strategis untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Rotasi dan mutasi jabatan juga memungkinkan transfer pengetahuan dan inovasi antar unit kerja yang berbeda.
Peningkatan Adaptabilitas
Seiring dengan perpindahan ke lingkungan kerja baru, pegawai harus menyesuaikan diri dengan budaya organisasi dan peraturan yang mungkin berbeda. Proses adaptasi ini meningkatkan keterampilan interpersonal dan kemampuan pemecahan masalah yang fleksibel. Adaptabilitas yang tinggi sangat diperlukan dalam menghadapi dinamika perubahan yang kerap terjadi di era modern.
Motivasi dan Semangat Kerja
Rotasi dan mutasi jabatan dapat menyuntikkan semangat baru bagi pegawai. Keinginan untuk mendapatkan pengalaman berbeda dapat menjadi pendorong agar pegawai meningkatkan kinerja. Dengan dipindahkan ke lingkungan baru, pegawai cenderung lebih termotivasi karena mereka merasa mendapat kesempatan untuk berkontribusi pada organisasi secara lebih luas.
Diversifikasi Pengalaman dan Jejaring
Pengalaman yang diperoleh melalui rotasi dapat membangun jejaring kerja yang lebih luas. Pegawai yang pernah bekerja di berbagai unit akan memiliki relasi yang lebih beragam, baik di tingkat internal maupun dengan pemangku kepentingan eksternal. Jejaring yang kuat ini sangat berguna saat mereka harus mencari solusi inovatif atau melakukan koordinasi lintas sektor.
Dany Jaelani pun menyoroti risiko rotasi dan mutasi jabatan ASN yang terpolitisasi, walaupun rotasi dan mutasi jabatan seharusnya berfokus pada penyegaran dan pengembangan kompetensi, praktik yang terjadi di lapangan tidak selalu ideal.
Beberapa risiko dalam kajiannya Kang Dany Jaelani memaparkan indikasi yang sering muncul berkaitan dengan politisasi rotasi dan mutasi pejabat ASN antara lain:
Pertama, Rotasi sebagai Alat Politik
Di beberapa instansi, rotasi pegawai ternyata digunakan sebagai alat untuk menempatkan orang-orang yang loyal secara politik atau pihak-pihak yang dianggap sebagai “pendukung” oleh pimpinan. Dengan demikian, promosi dan rotasi tidak lagi didasarkan pada kinerja atau keahlian, melainkan lebih kepada pertimbangan politik semata. Praktik seperti ini berpotensi menghambat objektivitas dan mengurangi mutu birokrasi.
Kedua, Penempatan yang Tidak Sesuai Kompetensi
Ketika rotasi dipengaruhi oleh intervensi politis, pegawai mungkin ditempatkan pada posisi di mana mereka tidak memiliki keahlian atau pengalaman yang relevan. Hal ini tidak hanya merugikan pegawai itu sendiri, tetapi juga berdampak pada kinerja unit atau instansi tersebut. Penempatan yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya kebingungan, penurunan produktivitas, bahkan kegagalan dalam mencapai target organisasi.
Ketiga, Penyalahgunaan Wewenang
Kekuatan dalam melakukan rotasi dapat disalahgunakan oleh pimpinan yang berkepentingan politik. Pihak tertentu dapat menggunakan mekanisme rotasi untuk “menertibkan” pegawai yang dianggap tidak setia atau untuk mengampuni rekan-rekan yang memiliki kepentingan pribadi. Penyalahgunaan wewenang seperti ini akan mengikis kepercayaan antar pegawai dan menciptakan budaya kerja yang tidak sehat.
Keempat, Kurangnya Transparansi dalam Proses Rotasi dan Mutasi Jabatan
Jika proses rotasi dan mutasi jabatan tidak dilakukan secara transparan, pegawai dan masyarakat akan sulit mengetahui apakah perpindahan jabatan dilakukan atas dasar penilaian kinerja dan kebutuhan organisasi atau sekadar hasil dari pertimbangan politik. Kurangnya transparansi semacam ini dapat menimbulkan kecurigaan dan kritik, yang akhirnya merusak reputasi instansi dan menurunkan moral pegawai.

Diakhir ulasannya M. Dany Jaelani, S.Sos selaku Tokoh Masyarakat Lintas Generasi menberikan pandangan sekaligus solusi upaya mewujudkan rotasi dan mutasi jabatan ASN yang berfokus pada penyegaran untuk memastikan bahwa rotasi dan mutasi jabatan ASN benar-benar bertujuan untuk penyegaran dan pengembangan kompetensi, diperlukan serangkaian kebijakan dan mekanisme pengawasan yang ketat.
Berikut beberapa langkah strategis yang dapat diambil:
Pertama, Penetapan Kriteria dan Indikator Kinerja yang Jelas
Proses rotasi harus didasari oleh penilaian kinerja yang objektif dan didokumentasikan secara transparan. Penerapan sistem penilaian seperti Key Performance Indicators (KPI) yang terukur dan terintegrasi dapat membantu menilai sejauh mana pegawai telah memenuhi target dan berkontribusi terhadap tujuan organisasi. Sistem semacam ini akan mengurangi ruang untuk intervensi politik dan memastikan bahwa keputusan rotasi bersifat adil.
Kedua, Pembentukan Komite Independen untuk Penilaian Kinerja
Salah satu cara untuk menghindari politisasi rotasi adalah dengan membentuk komite atau tim evaluasi yang independen. Komite ini harus terdiri dari pejabat profesional yang memiliki rekam jejak integritas dan keahlian dalam bidang masing-masing. Dengan demikian, proses penilaian dan rotasi dapat dilaksanakan secara objektif dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu.
Ketiga, Transparansi Proses dan Publikasi Hasil Evaluasi
Setiap proses rotasi harus dilakukan secara transparan dengan dokumentasi yang jelas dan dapat diakses oleh seluruh pegawai. Publikasi hasil evaluasi kinerja dan alasan perpindahan jabatan dapat membantu meningkatkan akuntabilitas dan mencegah kecurigaan adanya praktik titipan atau intervensi politik. Informasi yang terbuka juga memungkinkan pegawai untuk memahami dasar penetapan rotasi, yang pada gilirannya meningkatkan kepercayaan mereka terhadap sistem.
Keempat, Pelatihan dan Pengembangan Kompetensi Pegawai
Sistem rotasi sebaiknya disertai dengan program pelatihan dan pengembangan kompetensi yang berkelanjutan. Pegawai yang dipindahkan ke unit baru harus mendapatkan dukungan berupa pembekalan teknis dan pelatihan kepemimpinan agar dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan memberikan kontribusi maksimal. Program pengembangan kompetensi juga menjadi alat ukur keberhasilan rotasi sebagai sarana penyegaran.
Kelima, Sosialisasi Nilai-Nilai Meritokrasi dan Anti-Korupsi
Membangun budaya organisasi yang menjunjung tinggi meritokrasi dan anti-korupsi merupakan langkah penting untuk meminimalisir intervensi politis. Pelatihan etika, workshop tentang integritas, dan kampanye internal mengenai pentingnya kejujuran dalam penilaian kinerja dapat mengubah mindset pegawai dan pimpinan. Dengan demikian, rotasi tidak lagi dipandang sebagai instrumen politik, melainkan sebagai upaya kolektif untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Keenam, Pengawasan dan Evaluasi Berkala oleh Lembaga Eksternal
Untuk memastikan bahwa proses rotasi berjalan sesuai dengan prinsip yang telah ditetapkan, pengawasan eksternal dapat melibatkan lembaga-lembaga independen seperti Inspektorat Jenderal atau lembaga pengawas internal lainnya. Evaluasi berkala oleh pihak ketiga akan memberikan umpan balik yang objektif, serta memperbaiki mekanisme rotasi yang kurang efektif. [Eka].
