

Peltu Heri Setiadi: Karakter Lebih Penting Daripada Kecerdasan
MEDIAANDALAS.NET, KAB. CIREBON – Banyak orang termotivasi untuk berinvestasi dalam pengetahuan dan ilmu pengetahuan, yang sangat penting untuk mengembangkan keterampilan dan memperluas wawasan.
Namun, tanpa sikap yang baik, semua pengetahuan itu tidak akan memberikan manfaat yang maksimal, bahwa sikap yang baik dapat berkontribusi secara signifikan terhadap keberhasilan individu, baik dalam karir maupun kehidupan pribadi mereka.
Peltu Heri Setiadi, Babinsa Koramil 0620-11/Asjap menuturkan, “Sikap yang baik mencerminkan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, bagaimana kita menanggapi situasi yang sulit, serta sejauh mana kita peduli terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.”

“Keberhasilan dan kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan atau pengetahuan saja, tetapi juga oleh kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang sehat dan harmonis dengan orang lain.” Ujar Peltu Heri Setiadi, Babinsa Strategis yang baru menyelesaikan program pendidikan pasca sarjana di bidang ilmu hukum Universitas 17 Agustus Cirebon ini menuturkan.
“Misalnya, seorang pemimpin yang memiliki sikap baik dan empati akan lebih mudah memotivasi timnya, membangun kerjasama yang kuat, dan mencapai tujuan bersama.” Ungkap Peltu Heri Setiadi.
“Selain itu, sikap yang baik juga membantu kita mengatasi hambatan dan tantangan yang mungkin muncul dalam perjalanan hidup kita.” Imbuh Babinsa Koramil 0620-11/Asjap.
Sebagai manusia, kita tidak hanya perlu menjadi pintar secara intelektual, tetapi juga perlu memiliki sikap yang baik agar bisa sukses dan bahagia dalam kehidupan.
Dalam menghadapi tantangan dan persaingan di dunia yang semakin kompleks dan dinamis, banyak orang cenderung berfokus pada kecerdasan dan pengetahuan sebagai kunci utama untuk mencapai kesuksesan.
Namun, satu hal yang sering terabaikan adalah pentingnya sikap atau attitude yang baik. Attitude yang baik mencakup memiliki hati yang tulus, perasaan yang peka, empati yang mendalam, serta sikap positif dan konstruktif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Plato dalam Republik pernah memperingatkan: kecerdasan tanpa karakter adalah senjata yang membahayakan. Ia ibarat pedang di tangan anak kecil tajam, mematikan, tapi tanpa arah moral. Kita sering terpesona pada kecerdasan orang yang cepat berhitung, lihai berargumentasi, atau brilian dalam strategi. Namun Plato menegaskan, yang membuat negara selamat bukan otak yang cemerlang, melainkan jiwa yang tertata.
Karakter, bagi Plato, berarti keseimbangan antara akal, semangat, dan nafsu. Ia adalah fondasi yang memastikan seseorang tidak dikuasai keserakahan atau amarah, meski ia secerdas apapun. Kecerdasan tanpa karakter akan melahirkan manipulasi; kemampuan berpikir digunakan bukan untuk kebenaran, tapi untuk menipu, menguasai, atau mengakali hukum.
Sejarah memberi kita banyak contoh. Betapa banyak orang jenius yang justru menghancurkan bangsanya karena tidak memiliki rem moral. Teknologi, politik, bahkan ekonomi bisa dijadikan alat untuk menindas. Tanpa karakter, kecerdasan hanya mempercepat kehancuran bukan mencegahnya.
Plato meyakini pendidikan sejati adalah pembentukan jiwa, bukan sekadar penajaman logika. Anak yang dilatih hanya untuk pandai berhitung tanpa diajarkan keberanian, pengendalian diri, atau rasa adil, akan tumbuh sebagai orang pintar yang rapuh. Sementara anak yang ditempa karakternya akan mampu berdiri teguh, meski tidak selalu paling cerdas.
Di sinilah pentingnya pemimpin yang berkarakter. Negara bisa selamat meski dipimpin orang dengan kecerdasan biasa-biasa saja, asalkan ia adil dan jujur. Tetapi negara pasti hancur bila dipimpin orang supercerdas yang licik. Karakter menjadi penentu arah, sedangkan kecerdasan hanyalah mesin yang berjalan ke arah yang ditentukan.
Plato mengibaratkan hidup seperti kapal. Kecerdasan adalah layar: ia membuat kapal bergerak cepat. Tetapi karakter adalah kompas: ia menentukan ke mana arah kapal itu menuju. Layar tanpa kompas akan menyesatkan. Bahkan makin besar layarnya, makin jauh pula kapal bisa terseret ke jurang yang salah.
Kita pun melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Orang cerdas bisa menipu, tapi orang berkarakter tahu kapan harus menahan diri. Orang cerdas bisa memenangkan debat, tapi orang berkarakter menjaga agar kebenaran tidak dikorbankan demi ego. Pada akhirnya, kecerdasan membuat orang dikagumi, tapi karakterlah yang membuat orang dipercaya.
Bagi Plato, masyarakat yang sehat bukanlah masyarakat berisi individu-individu jenius, melainkan individu-individu berkarakter. Kecerdasan bisa menjadi hiasan, tetapi karakter adalah fondasi. Dan negara tanpa fondasi tidak akan bertahan lama, seberapa pun megahnya tampilan luar.
Maka, pertanyaan yang seharusnya kita renungkan bukanlah: “Seberapa cerdas aku?” melainkan: “Seberapa kuat karakternya aku?” Sebab kecerdasan hanyalah alat. Tanpa karakter, ia hanya akan menjadi bayangan dari kebaikan, bukan wujudnya. Dan dalam pandangan Plato, kebaikanlah bukan kepintaran yang membuat hidup manusia, dan negara, benar-benar berarti. [Eka].
